TEORI PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Menurut teori motivasi Maslow, the hierarchy of needs,seseorang termotivasi untuk melakukan segala sesuatu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tersusun secara hierarkis dari : physiological needs, safety needs, love and belongingness needs, self-esteem needs, dan self-actualization. Menurut Maslow, orang akan berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih dasar sebelum melangkah untuk kebutuhan selanjutnya. Misalnya, mengutamakan melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan fisiologis(makan,minum,kehangatan,dll) sebelum memenuhi kebutuhan akan harga diri(self-esteem needs). Dalam kasus menyontek diatas, beberapa siswa yang tidak belajar mungkin memutuskan untuk menyontek untuk mendapatkan rasa aman terhindar dari hukuman jika ia lulus ujian. Beberapa mungkin ingin memenuhi kebutuhan akan self-esteem karena jika dengan mendapat nilai yang bagus dalam ujian meskipun dengan menyontek ia akan mendapat penghargaan dari guru,orangtua, maupun teman.
Menurut teori behaviorists Bandura, seseorang akan termotivasi untuk melakukan sesuatu yang mendapatkan reinforcement (penguatan) dan akan berhenti melakukan hal-hal yang mengakibatkan ia mendapatkan punishment(hukuman). Dengan demikian, dalam hal mendapatkan nilai yang bagus dalam ujian misalnya, dapat berasal dari faktor yang berbeda. Siswa yang berhasil menyontek pada saat ujian dan mendapat nilai ujian yang bagus akan termotivasi untuk menyontek lagi pada ujian-ujian berikutnya. Sebaliknya, siswa yang ketahuan menyontek pada saat ujian dan mendapat hukuman karenanya, akan berhenti menyontek.
TEORI PENDIDIKAN BIMBINGAN SEKOLAH
Kebanyakan yang terjadi dalam sekolah adalah siswa mendapat hukuman jika tidak mampu menjawab pertanyaan guru dengan benar, tidak mengerti dengan materi pembelajaran.Bahkan,dalam beberapa kasus, siswa dituntut untuk menuliskan atau menjawab jawaban dalam kalimat dengan susunan kata-kata yang ditentukan , yang sesuai persis dengan yang di buku. Hal ini tentu menghambat kreativitas siswa, yang menyesatkan siswa menjadi penghafal kata, bukan belajar. Dalam mata pelajaran matematika misalnya, mungkin siswa hanya menghafal rumus untuk mendapatkan jawaban tanpa memahami konsepnya, bila tidak mampu menghafal rumus maka buat contekan. Oleh sebab itu, perilaku menyontek banyak ditemukan pada sistem belajar yang seperti itu, karena sesuai dengan teori dari Bandura, siswa berusaha untuk menghindari punishment.Oleh karena itu, sangatlah penting bagi guru untuk mencari tahu sebab-sebab perilaku menyontek bisa terjadi, dan berusaha mencari pola pengajaran alternatif.
TEORI PENDIDIKAN KELUARGA
Seperti yang kita ketahui, perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Menurut saya, dalam hal ini menyontek lebih disebabkan oleh faktor lingkungan. Karena menyontek berhubungan dengan belajar dan belajar merupakan proses yang diambil dari lingkungan dan pengalaman sehari-hari. Menyontek merupakan salah satu hasil dari belajar.
Faktor genetik yang mungkin terlibat adalah, trait orang tsb. Seseorang yang berani menyontek menunjukkan ia adalah orang yang cukup berani mengambil resiko. Dengan kata lain salah satu traityang dimiliki oleh orang yang menyontek adalah adventuresome dan trait in belum tentu dimiliki oleh setiap orang. Hal ini yang menyebabkan, ada juga orang yang tidak mau memilih untuk menyontek.
TEORI PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Remaja biasa diselimuti dengan rasa ingin tau dan ingin mencoba hal-hal yang baru,untuk mencari identitas diri, karena masa remaja bisa kita sebut dengan masa Krisis Identitas Diri, sehingga remaja akan mencari identitas dirinya dengan meniru memodel, imitasi tingkah laku orang lain yang di lihat,dilakukan secara sadar atau tidak (Bandura dan Walters,1963).
Dalam model pembelajaran observasional kontemporernya Bandura, beliau memfokuskan pada proses-proses spesifik yang terlibat dalam sebuah pembelajaran, yakni:
- Atensi
Seseorang mempelajari sesuatu dari apa yang dilakukan atau dikatakan si model.
- Retensi
Seseorang harus bisa mengkodekan informasi dan menyimpannya dalam ingatan (memori) sehingga informasi itu bisa diambil kembali.
- Produksi
Seseorang bisa menirukan/mereproduksi prilaku model apabila kemampuan geraknya untuk melakukan prilaku tersebut sudah matang.
- Motivasi
Seseorang kadang harus dimotivasi untuk menghasilkan sebuah prilaku.
Pada fenomena pendidikan di atas, dimana ada murid sekolah yang melakukan adegan mesum, jika dikaitkan dengan teori model pembelajarannya Bandura, mereka memang telah berhasil melewati proses-proses spesifik yang disebutkan Bandura tersebut. Mereka berhasil melewati proses Atensi, Retensi, Produksi, dan Motivasi. Hanya saja, proses-proses yang mereka alami tersebut membawa mereka ke sebuah hasil yang negative, yakni tindakan mesum.
TEORI PENDIDIKAN BIMBINGAN SEKOLAH
Dalam teori pendidikan bimbingan sekolah, dikatakan bahwa Guru memegang peranan yang penting dalam mengatur tingkah laku anak didiknya. Kasus-kasus adegan mesum yang diperagakan oleh murid-murid sekolah, penyebabnya bisa saja merupakan kurangnya bimbingan yang diberikan oleh pihak sekolah (guru) kepada para murid mengenai kasus tersebut.
Ada sebuah teknik pengajaran yang mungkin dapat membantu guru-guru di sekolah dalam memberikan bimbingan kepada murid didiknya agar tidak terjerumus ke dalam dunia hitam seperti itu, yakni menggunakan teori konstruktivis. Teknik ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentranformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru, dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
Satu prinsip penting menurut teori konstruktivisme ini adalah bahwa guru tidak sekadar memberikan pengetahuan kepada siswanya, tetapi siswa sendiri juga ditantang ntuk membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Jadi, di sini guru tidak hanya sekadar memberikan informasi kepada muridnya bahwa adegan mesum itu adalah hal yang buruk, tetapi murid juga harus ditantang untuk memikirkan sendiri kira-kira apa saja konsekuensinya apabila dia melakukan tindakan yang tidak terpuji itu.
TEORI PENDIDIKAN KELUARGA
Sebuah prilaku, pada umumnya semula dianggap bersumber pada genetic, akan tetapi dalam banyak penelitian empiris sekarang ini telah menyimpulkan bahwa prilaku senantiasa lebih dipengaruhi oleh lingkungan. Dan lingkungan yang paling mempengaruhi tindak tanduk seseorang adalah lingkungan keluarganya.
Pada fenomena adegan mesum yang diperankan oleh murid sekolah tersebut, sungguh merupakan sesuatu yang sangat memprihatinkan. Peran keluarga sepertinya tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap kedua pasangan mesum tersebut, apalagi mengingat bahwa tindakan mesum tersebut dilakukan di dalam RUMAH murid itu sendiri, di mana seharusnya merupakan tempat yang paling dapat diawasi oleh keluarga.
Suatu keluarga baru dapat dikatakan efektif dalam menjalankan fungsinya mendidik anak mereka adalah apabila keluarga tersebut bisa menyediakan lingkungan yang kaya stimulasi mental dan intelektual, dengna mengusahakan sebuah suasana dan sarana belajar yang memberikan kesempatan kepada anak secara spontan atau otodidak dapat menyatakan dan memperhatikan diri terhadap berbagai kejadian di dalam lingkungannya. Dengan begitu, kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang kurang terpuji seperti fenomena yang disebutkan di atas pun dapat diminimalisir atau bahkan tidak pernah terjadi sama sekali.
Untuk mengembangkan bakat dan memaksimalkan pendidikan anak – anak yang berbakat di-Indonesia. Kita harus mengetahui dahulu, apa itu ‘bakat’ dan karakteristik dari ‘bakat’ itu sendiri agar dapat mengembangkan bakat itu sendiri dengan cara yang efektif dan efisien pula. Anak berbakat dikatakan sebagai anak dengan kecerdasan di atas rata – rata seperti memiliki keunggulan dibeberapa bidang, seperti seni, musik, atau matematika. Program untuk anak berbakat disekolah biasanya didasarkan pada kecerdasan dan prestasi akademik saja. Beberapa kritikus mengatakan bahwa terlalu banyak anak dalam program anak berbakat yang sebenarnya kurang berbakat dalam area tertentu tetapi hanya agak cemerlang, biasanya kooperatif. Intelegensi umum yang sebagaimana didefinisikan dalam skor IQ masih tetap menjadi kriteria utama dalam hal penetuan kelayakan penempatan anak pada program berbakat atau tidak, kini mulai banyak pendukung pendapat bahwa kriteria itu harus juga memasukkan multiple intelligence dari Gardner, dan kemungkinan dimasa depan kriterianya tidak mencakup IQ lagi.
Ellen Winner (1996), seseorang ahli di bidang kreativitas dan anak berbakat, mendeskripsikan tiga kriteria yang menjadi ciri anak berbakat :
- Dewasa lebih dini (precocity). Anak berbakat adalah anak yang dewasa sebelum waktunya dan apabila diberi kesempatan untuk menggunakan bakat dan talenta mereka. Mereka mulai menguasai suatu bidang lebih awal ketimbang teman – temannya yang kurang berbakat.
- Belajar menuruti kemauan mereka sendiri. Anak berbakat belajar secara berbeda dengan anak lain yang kurang berbakat. Mereka tidak membutuhkan banyak dukungan, atau scaffolding, dari orang dewasa. Sering kali mereka tak mau menerima instruksi yang jelas.
- Semangat untuk menguasai. Anak yang berbakat tertarik untuk memahami bidang yang menjadi bakat mereka. Mereka memperlihatkan minat besar dan obsesif serta kemampuan fokus yang kuat. Mereka memiliki motivasi internal yang kuat.
Adapun opsi progam untuk anak berbakat yaitu (Hertzog, 1998) :
- Kelas khusus. Secara historis, ini adalah cara yang lazim untuk mendidik anak berbakat. Beberapa kelas khusus diselenggarakan setelah sekolah reguler, atau di masa liburan.
- Akselerasi dan pengayaan di kelas reguler.
- Program mentor dan pelatihan. Beberapa pakar percaya ini adalah cara penting yang jarang dipakai untuk memotivasi, menantang, dan mendidik anak berbakat secara efektif (Pleiss & Feldhusen, 1995).
- Kerja/ studi dan program pelayanan masyarakat.
Seperti yang terdapat pada artikel di link fenomena III ini. Anak SD yang mengikuti program akselerasi untuk anak berbakat hanya mengejar nilai dan prestasi secara akademik. Seakan – akan program akselerasi di-Indonesia hanya menekankan pada kawah kognitif si anak yang dikatakan berbakat ini. Pendidikan dengan sudut pandang ini adalah kelemahan terbesar dari pendidikan di-Indonesia. Karena kecerdasan dan bakat yang sebenarnya tidak hanya pada tingkat kognitif yang dapat terlihat pada nilai IQ maupun prestasi anak secara akademis saja. Implementasi program akselerasi untuk anak SD ini masih perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Anak – anak di sekolah dasar masih berorientasi pada dunia bermain mereka dan juga pada tahap awal bersosialisasi dengan lingkungan. Oleh karena itu, penekanan bakat anak pada tingkatan kognitif saja dapat menghambat perkembangan sosial anak itu sendiri. Perkembangan emosional si anak dalam hal ini murid SD, juga penting sekali dalam keberhasilan menjalin hubungan sosial dan menjalani kehidupan sosialnya. Apabila anak hanya berkembang dalam aspek kognitif khususnya prestasi akademis saja maka dimasa depan ilmu yang ia dapatkan itu tidak dapat ia implementasikan secara baik pada kehidupan sosialnya. Perlu diingat bahwa kecerdasan intelengensi dan kecerdasan emosional adalah satu kesatuan. Dimana keduanya saling mendukung satu sama lainnya, dan dalam hal ini anak pendidikan sekolah dasar tidak hanya kecerdasan intelegensi yang harus ditekankan, melainkan kedua-duanya secara bersamaan. Paradigma pendidikan indonesia tentang anak berbakat perlu diluruskan kembali. Agar tujuan awal pendidikan yang positif akan pengembangan ini berhasil dengan positif pula.
Teori Pendidikan Keluarga
Menurut William Louis Stren faktor pembawaan maupun faktor lingkungan ataupun pengalaman mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi dan menentukan perkembangan individu. Perkembangan individu akan ditentukan baik oleh faktor yang dibawa sejak lahir (faktor endogen) maupun faktor lingkungan, termasuk pengalaman dan pendidikan (faktor eksogen). Salah satu komponen dari faktor endogen adalah faktor bakat (aptitude) dimana bakat bukanlah suatu yang terbentuk sejak lahir melainkan potensi yang memungkinkn individu berkembang pada suatu arah. Supaya potensi ini teraktualisasikan maka dibutuhkan dukungan lingkungan yang baik dan dalam hal ini, dukungan keluarga dalam pengembangan anak mereka yang berbakat di jenjang pendidikan sekolah dasar. Keluarga dalam hal ini merupakan lingkungan sosial primer dimana anak memiliki kedekatan khusus dan intim.
Keluarga memiliki peran penting dalam pengembangan anak berbakat dalam hal emosional. Keluarga sebagai lingkungan sosial primer dapat memfasilitasi anak berbakat dengan memberikan stimulus maupun fasilitas yang dibutuhkan anak mereka yang berbakat tersebut sesuai dengan kemampuan dan keinginan si anak. Potensi – potensi yang dimiliki anak akan berkembangan menjadi bakat apabila dapat dibentuk keluarga dengan baik dan benar. Semakin baik fasilitas dan stimulus yang diberikan lingkungan dalam hal ini keluarga maka si anak yang berbakat akan semakin terarah dan dapat mengembangkan potensinya secara baik dan benar pula. Keluarga merupakan tempat awal maupun lingkungan awal si anak menerima nilai yang menjadi modal utamanya dalam menjalani hidup sosial di fase berikutnya. Seperti, bersosialisasi dengan teman sekolah.
Dengan penanaman nilai yang baik dan benar maka anak yang berbakat dapat menyesuaikan diri secara emosional dengan lingkungan yang akan dihadapinya dan cenderung lebih siap dibandingkan dengan anak yang kurang berbakat. Perlu ditekankan anak dengan potensi – potensi yang ada tidak dapat dikatakan berbakat apabila potensi tersebut tidak disadari oleh keluarga itu sendiri. Karena bakat itu tidak terbentuk sejak lahir melainkan potensi. Potensi yang tidak dimanfaatkan dan tidak dikembangkan oleh keluarga akan menimbulkan kesulitan secara emosional dan psikologis anak dimasa yang mendatang. Motivasi instrinsik anak harus diseimbangkan dengan motivasi ekstrinsiknya agar anak memiliki kondisi emosional yang sehat. Dengan kondisi emosional yang sehat maka perkembangan dalam aspek kognitifnya pun otomatis akan baik. Dikarenakan aspek kognitif dan emosional ada satu kesatuan yang penting dalam kehidupan sosial setiap individu.
Teori Bimbingan Konseling
Program pengayaan adalah memberi murid kesempatan untuk mendapatkan pembelajaran yang tidak didapatkan di kurikulum umum. Kesempatan pengayaan dapat disediakan dikelas reguler, melalui jam tambahan khusus; melalui guru khusus pendidikan anak berbakat; melalui studi independen, sepulang sekolah. Salah satu tipe program pengayaan adalah mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif, dan memberi mereka kesempatan untuk memilih sendiri bidang studinya (Renzulli & Reiss, 1997). Anak yang akan mengikuti program seharusnya dipilih bedasarkan banyak kriteria termasuk kreativitas dan komitmen.
Evaluasi riset terhadap program akselerasi dan pengayaan belum mengungkapkan pendekatan mana yang terbaik (Winner, 1997). Beberapa peneliti telah menemukan buki yang mendukung program akselerasi (Kulik, 1992), walaupun para pengkritik mengatakan ada masalah dalam loncat kelas, yakni anak akan berada bersama anak lain yang secara fisik lebih besar dan berbeda secara sosioemosional. Peneliti lain menemukan bukti yang mendukung program pengayaan (Renzulli & Reis, 1997).
Ellen Winner (1997) mengatakan bahwa sering kali anak – anak berbakat akan terisolasi secara sosial dan tidak mendapat tantangan yang berarti di kelas. Jika seorang murid adalah satu – satunya anak berbakat di kelasnya, maka dia tak punya kesempatan untuk belajar dengan murid yang setara kemampuannya. Sekolah harus memfasilitasi anak berbakat dengan program yang memang relevan dan efektif bukan hanya secara kognitif melainkan juga secara sosioemosional. Program yang diberikan untuk anak SD harus dirancang khusus dengan memperhatikan beban psikologis yang mungkin akan mereka terima dengan mengikuti program tersebut. Kesejahteraan manusia dalam jangka panjang harus diperhatikan dalam segala aspek, terutama pendidikan.
Tanpa pendidikan yang efektif dan efisien maka anak berbakat akan menyia – yiakan bakat yang ia miliki dan tidak dapat mengekspresikan serta mengimplementasikannya dikemudian hari. Tentu hal ini akan menyebabkan beban psikologis untuk anak tersebut. Program pengayaan yang dilakukan disekolah harus benar – benar bedasarkan pertimbangan yang metodologis dan memperhatikan kesejahteraan manusia itu sendiri dalam hal ini sang murid sekolah dasar. Dengan begitu pembelajaran untuk mereka yang akselerasi benar – benar diperhatikan oleh pihak sekolah dan dapat menghasilkan cendikiawan yang dapat memimpin masyarakat dimasa yang akan datang.
Santrock, John W. 2007 . Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta : Prenada Media Group.